Kesalahan Administrasi Penghitungan Suara dan Ancaman Kepercayaan Rakyat
|
PAGELARAN Pemilu 2019 merupakan sejarah baru bagi penerapan sistem demokrasi di Indonesia. Pemilu 2019 atau yang dikenal dengan pemilu lima kotak ini menerapkan sistem yang jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pada 2014 terdapat pemisahan antara pemilihan legislatif dengan presiden dan wakil presiden. Sedangkan pada 2019, kedua pemilihan itu digabung menjadi satu, sehingga terdapat lima kotak suara, yakni DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, serta presiden dan wakil presiden. Dampak yang ditimbulkan dari penggabungan pemilihan itu salah satunya meningkatnya beban kerja penyelenggara pemilu dan dinamika politik yang dialami peserta pemilu disisi lain.
Tingginya beban kerja tersebut dirasakan KPPS dan Pengawas TPS pada tahapan puncak pemungutan dan penghitungan suara di TPS. KPPS dan Pengawas TPS di wilayah Kabupaten Purworejo rata-rata bekerja antara 18 sampai 22 jam pada hari pemungutan suara tanggal 17 April 2019. Bahkan, di beberapa TPS ada yang lebih dari 24 jam. Contohnya yakni TPS 9 dan 21 Kelurahan Purworejo, Kecamatan Purworejo. TPS tersebut dibuka mulai pukul 07.00 dan selesai proses pemungutan hingga penghitungan suara sekitar pukul 04.00 WIB. Di wilayah Kecamatan Kutoarjo ada TPS yang selesai pukul 09.00 pagi tanggal 18 April 2019. Beban kerja tersebut sangat menguras tenaga dan pikiran. Bahkan di sejumlah wilayah Jawa Tengah beban kerja itu mengakibatkan KPPS dan Pengawas TPS jatuh sakit hingga meninggal dunia.
Tingginya beban kerja itu belum diimbangi dengan penguatan sumber daya manusia (SDM) yang matang. Bawaslu Purworejo masih banyak menemukan KPPS yang belum sepenuhnya paham terhadap aturan tentang pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Sebab, tidak semua KPPS mendapatkan bimbingan teknis atau pelatihan. Berdasarkan data Bawaslu Purworejo, dari tujuh anggota KPPS di setiap TPS, hanya tiga orang saja yang dilatih oleh KPU melalui PPK tentang tata cara pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Akibatnya terjadi kesenjangan pengetahuan antaranggota KPPS.
Menanggapai persoalan tersebut Bawaslu Purworejo sudah melakukan koordinasi dengan KPU Purworejo menanyakan tentang pelatihan KPPS tersebut. Pihak KPU Purworejo menjelaskan bahwa pelatihan itu tidak bisa diikuti semua anggota KPPS karena keterbatasan anggaran. Padahal, penguatan SDM KPPS ini penting untuk menunjang kerja pada tahapan puncak pemungutan dan penghitungan suara.
Persoalan yang kemudian muncul ke publik sebagai dampak kesenjangan pengetahuan tersebut yakni banyaknya penghitungan suara ulang mencapai 54 TPS dari 3.032 TPS se-Kabupaten Purworejo atau 1,7 %. Penghitungan suara ulang ini rinciannya adalah 6 TPS penghitungan suara ulang dilakukan ditingkat TPS dan 48 TPS penghitungan suara ulang dilakukan ditingkat PPK. Akar persoalannya bersumber pada kesalahan yang dilakukan KPPS pada saat penghitungan suara di TPS.
Sebagian KPPS belum memahami tata cara pencatatan perolehan suara partai dan calon legislatif dalam formulir C1 Plano dan salinan C1. Kesalahan yang jamak terjadi yakni memasukkan perolehan suara caleg ke dalam kolom perolehan suara partai. Akibatnya, terjadi pembengkakan total perolehan suara partai dan caleg, sehingga terjadi selisih antara surat suara sah dan tidak sah dengan jumlah pengguna hak pilih.
Sesuai dengan Pasal 73 PKPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum yang diantaranya mengatur tentang penghitungan suara ulang, Pengawas TPS merekomendasikan dilakukan penghitungan suara ulang di TPS. Setidaknya ini terjadi di enam TPS yang tersebar di Kecamatan Pituruh dan Banyuurip. Rinciannya, Kecamatan Pituruh berada di Desa Kaligintung TPS 6, Desa Kedungbatur TPS 1, Desa Kembangkuning TPS 1. Kecamatan Banyuurip berada di Desa Condongsari TPS 6, Desa Kertosono TPS 3 dan Kelurahan Kledung Kradenan TPS 8.
Selebihnya, kesalahan serupa terjadi di 48 TPS. Namun, kesalahan itu baru diketahui pada saat rekapitulasi ditingkat PPK. Atas rekomendasi Panwaslu Kecamatan kemudian dilakukan penghitungan suara ulang. Penghitungan suara ulang ditingkat PPK itu tersebar di 10 kecamatan, yakni Kecamatan Ngombol, Pituruh, Bayan, Grabag, Kemiri, Bagelen, Kaligesing, Banyuurip, Bener dan Loano.
Diakui, kesalahan tersebut di atas luput dari pengawasan Pengawas TPS. Seandainya Pengawas TPS bisa mendeteksi kesalahan itu sejak di TPS, bisa langsung dilakukan penghitungan ulang di TPS dan tidak perlu ada penghitungan suara ulang di tingkat PPK.
Kesalahan memasukkan perolahan suara caleg ke perolehan suara partai ini sejatinya sudah menjadi persoalan klasik setiap hajatan pemilu. Namun pada Pemilu 2019 kesalahan tersebut muncul ke permukaan dan menjadi perhatian publik.
Proses rekapitulasi hasil suara di Kecamatan Ngombol Purworejo.
Beban kerja dan lamanya proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS menyebabkan konsentrasi KPPS menurun. Banyak ditemukan kesalahan penulisan perolehan suara partai dan caleg, baik di C1 Plano maupun pada C1. Salah satu contohnya di TPS 1 Desa Seboro Krapyak, Kecamatan Banyuurip terdapat perbedaan antara penulisan perolehan suara pada C1 Plano dengan salinan C1 untuk pemilihan DPR RI Partai Nasdem. Berdasarkan pengecekan terhadap rincian perolehan suara Caleg dan Partai Politik di form C1.Plano-DPR, ada beberapa perolehan Caleg yang tidak ditulis di dalam C1, yakni perolehan suara caleg DPR RI Partai Demokrat nomor urut 3 atas nama H. Soleh Soe’aidy, S.H. Pada C1 Plano dia memperoleh 2 suara, namum pada formulir C1 perolehannya tidak ditulis atau kosong. Begitu pula pada kolom jumlah suara partai dan caleg juga terdapat kesalahan penjumlahan. Kesalahan ini menjadi celah bagi peserta pemilu dan dijadikan dalil permohonan untuk mengajukan gugatan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Kesalahan tersebut tak lepas dari kurangnya peran Pengawas TPS dalam melakukan pengawasan di lapangan. Hal itu disebabkan jumlah Pengawas TPS tidak sebanding dengan jumlah KPPS yang ada di TPS. Pengawas TPS hanya berjumlah satu orang per TPS, sedangkan KPPS sebanyak tujuh orang. Disisi lain, Pengawas TPS harus mengawasi setiap KPPS yang memiliki tugas dan peran yang berbeda.
Pada saat pemungutan suara, seorang Pengawas TPS harus mengawasi KPPS yang bertugas mencatat kehadiran pemilih dan melakukan pengecekan KTP elektronik, mengawasi pemberian surat suara oleh Ketua KPPS ke setiap pemilih, mengawasi pergerakan pemilih ketika berada di dalam bilik suara, hingga memastikan pemilih mencelupkan jarinya ke tinta setelah memberikan hak suara. Belum lagi dia harus memastikan tidak ada pihak yang menggunakan atribut partai di lokasi TPS. Tingginya beban kerja itu juga berdampak pada menurunnya konsentrasi kerja.
Hal ini sejatinya sudah dapat diprediksi saat Bawaslu Purworejo mengadakan simulasi pengawasan oleh Pengawas TPS bertempat di Hotel Ganesha Purworejo. Pada saat simulasi, Pengawas TPS terlihat kerepotan melakukan pengawasan dengan objek masalah yang disajikan Bawaslu.
Karena itu, Bawaslu Purworejo menekankan kepada Pengawas TPS untuk mengutamakan upaya pencegahan dengan giat melakukan koordinasi dengan KPPS sebelum pelaksanaan pemungutan suara dilakukan. Koordinasi itu sebagai ruang belajar bersama sekaligus mengantisipasi potensi kerawanan yang mungkin bisa terjadi.
Pada aspek lain, saksi peserta pemilu juga kurang menjalankan fungsinya dengan baik. Sebagian besar saksi terkesan kurang responsif terhadap proses yang terjadi di TPS atau mungkin kurang paham terhadap proses yang sedang berjalan. Hal ini bisa dilihat dari minimnya tingkat keberatan yang diajukan oleh saksi partai politik di TPS.
Kekeliruan yang terjadi di tingkat TPS kemudian menyebabkan proses rekapitulasi di tingkat PPK mengalami kendala. Panwaslu Kecamatan, PPK dan saksi partai politik harus bekerja lebih keras dalam melakukan rekap tingkat kecamatan. Proses rekapitulasi ini berlangsung cukup lama yakni sekitar satu minggu, dimulai pada 19 sampai 25 April 2019. PPK terpaksa membagi proses rekapitulasi dalam tiga panel. Masing-masing panel melakukan proses rekapitulasi yang diawasi oleh Panwaslu Kecamatan dan saksi. Kegiatan rekapitulasi ini berlangsung hingga larut malam lantaran banyaknya jumlah kotak suara yang harus direkap.
Pada tahap pengihitungan suara di TPS, kerja-kerja administrasi sangat menentukan kualitas Pemilu 2019. Kesalahan penginputan data ke dalam lembaran formulir yang jumlahnya mencapai puluhan itu dapat berdampak negatif terhadap proses yang telah dilakukan sejak tahapan pemilu dimulai.
Kendati tingkat kesalahan administrasi di Kabupaten Purworejo relatif kecil yang mengakibatkan dilakukannya penghitungan suara ulang, namun hal ini perlu menjadi catatan serius bagi penyelenggara pemilu dimasa yang akan datang.
Kesalahan administrasi tersebut dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu dimasa yang akan datang. Rakyat tentu tidak mau tahu apakah kesalahan ini disengaja atau tidak. Rakyat selalu mendambakan proses penyelenggaraan pemilu yang berkualitas, mulai dari tahapan awal hingga proses pemilu selesai. Kepercayaan tersebut menjadi modal utama bagi penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kepercayaan rakyat tersebut akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan lima tahun ke depan.
Meraih kepercayaan rakyat pada pagelaran pemilu bukan persoalan yang mudah. Bergulirnya isu golongan putih (golput) selalu mewarnai pagelaran pemilu dari masa ke masa. Sikap golput merupakan ekspresi tidak percaya terhadap sistem pemilu yang dinilai curang dan tidak berkualitas. Hal ini menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu baik Bawaslu maupun KPU. Berkembangnya sikap tidak percaya terhadap penyelenggaraan pemilu akan berdampak buruk bagi iklim demokrasi di Indonesia.
Jangan sampai program sosialisasi kepada masyarakat yang sudah dilakukan Bawaslu dan KPU sejak tahapan awal pemilu hingga menjelang masa tenang menjadi sia-sia. Padahal, sosialisasi tersebut menghabiskan anggaran yang sangat banyak demi meningkatnya partisipasi pemilih. Partisipasi pemilih dalam melakukan pengawasan tahapan pemilu maupun penggunaan hak pilih.
Masyarakat sebagai subjek pemilu sekaligus pemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini sudah sepatutnya menuntut profesionalitas kerja penyelenggara pemilu mulai dari tingkat Pusat sampai bawah.
Kesalahan administrasi juga dapat dijadikan celah bagi peserta pemilu untuk mengajukan sengketa proses dan hasil pemilu. Meski peserta pemilu memiliki hak untuk mengajukan sengketa, namun banyaknya proses sengketa yang diajukan akan berdampak buruk terhadap citra kualitas penyelengaraan pemilu.
Evaluasi perlu terus dilakukan penyelenggara pemilu baik Bawaslu maupun KPU untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas demi menjaga kepercayaan rakyat.
Penulis: Rinto Hariyadi SSosI Koordinator Divisi Hukum Data dan Informasi Bawaslu Kabupaten Purworejo