Lompat ke isi utama

Berita

Bukan Daftar Persoalan Tetap

oleh: Nur Kholiq (Ketua Bawaslu Purworejo)

SEBENARNYA bukan jadwal saya. Tim webkusi JALU Bawaslu Purworejo sudah menjadwalkan sparing partner antara Kordiv Pengawasan Anik Ratnawati dengan Kordiv Perencanaan Data dan Informasi KPU Purworejo Rahman Hakim.

Semula keduanya “diduetkan” tanggal 5 Mei 2020. Namun karena udzur mendadak, Mbak Anik, demikian biasa kami menyapa akrab, membatalkannya. Saya diminta mbadali (menggantikan). Tapi karena temanya cukup berat, saya memohon agar diundur sehari, tanggal 6 Mei 2020 untuk persiapan materi.

Tema yang diangkat soal Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sejujurnya, tema itu kurang menarik di musim pandemi covid seperti saat ini. Apalagi disajikan bersamaan dengan keluarnya Perppu Nomor 2 tahun 2020. Payung hukum yang ditunggu banyak orang mengenai kelanjutan nasib Pilkada 2020. Tema Perppu tentu jauh lebih menarik karena aktualitasnya.

Barangkali, satu-satunya sisi kemenarikan tema itu adalah plesetan akronimnya: DPT Bukan Daftar Persoalan Tetap. Lho lho kok jadi persoalan tetap. Tema itu bisa jadi merupakan hasil pergumulan antara idealita dan realita. Buah dialektika antara fakta dan cita-cita. 

DPT idealnya menjadi dokumen primer yang akurat dalam menjaga hak pilih. Faktanya, proses penyusunan DPT dari pemilu ke pemilu menghadapi persoalan yang sama dan berulang. Orang Jawa membuat istilah benang ruwet.

Ironisnya, sederet persoalan-persoalan DPT tak luput dari catatan evaluasi setiap kali pemilu selesai digelar. Dan pada pemilu berikutnya, persoalan yang sama kembali terjadi. Maka munculah plesetan DPT sebagai Daftar Persoalan Tetap.

Begitulah narasi pemantik yang disampaikan moderator M Hidayatullah. Pertanyaan mendasar dia ajukan ke Mas Rahman. DPT itu sebenarnya apa sih pak?

Tak langsung menjawab. Senyum tipis menjadi respon spontannya. Seakan gestur itu ingin menyampaikan pesan: pertanyaan itu cukup berat untuk dijawab.

Namun, perlahan Rahman mulai mengurai jawaban normatif. Bahwa DPT merupakan akronim dari Daftar Pemilih Tetap. Dokumen berisi nama-nama warga negara yang berhak menggunakan hak pilih ini posisinya sangat vital dalam pelaksanaan pemilu. DPT menjadi acuan utama dalam perencanaan tahapan-tahapan pemilu.

Misalnya, perencanaan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) beserta kebutuhan penyelenggara adhoc, basisnya data DPT. Begitu juga dengan perencanaan logistik pemilu: surat suara beserta seluruh formulirnya juga ditentukan data DPT. Seluruh perencanaan itu berimplikasi terhadap anggaran. Secara sederhana, akurasi DPT berkorelasi positif dengan perencanaan anggaran yang dibutuhkan untuk membiayai pemilu.

DPT merupakan instrumen hukum untuk melindungi hak asasi warga negara. Hak untuk memilih (right to vote). Salah satu jenis hak asasi manusia yang dikenal di negara-negara demokrasi. Hak memilih juga diakui dunia melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Duham) tahun 1948.

Kedudukan hak memilik secara eksplisit diatur juga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003. Secara tegas dalam putusan itu, MK menyatakan: “menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, maupun konvensi internasional, maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.”

Perlindungan hak memilih secara spesifik juga diatur dalam  Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 43 menyatakan: “Setiap warga mendapatkan hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil seusai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dalam perspektif pendekatan hukum pada uraian di atas, kita bisa memahami kedudukan DPT sebenarnya sangat erat kaitannya dengan perlindungan HAM. Proses penyusunan DPT sesungguhnya bisa kita maknai sebagai upaya hukum dalam penegakan dan perlindungan hak asasi warga negara. Yakni hak untuk memilih. Tindakan apapun yang mengakibatkan hilangnya hak memilih warga negara dapat dimaknai sebagai pelanggaran terhadap hak asasi warga negara. Wajar dalam pengaturannya pada regulasi pemilu, kesengajaan yang mengakibatkan hilangnya hak memilih warga negara diancam hukuman pidana. (baca: pidana pemilu)

Webkusi JALU sore itu berhasil membuat daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam penyusunan DPT. Permasalahan yang dijumpai dari pemilu ke pemilu hingga memunculkan plesetan sebagai persoalan tetap.

Beberapa pemasalahan pokok antara lain: pemilih ganda, pemilih sudah meninggal dunia belum dihapus, anggota TNI/Polri yang masih tercantum dalam DPT, pensiunan TNI/Polri belum didata sebagai pemilih, kesalahan penulisan NIK dan NKK, kesalahan penulisan alamat, jenis kelamin, dan variabel-variabel lainnya yang sebenarnya merupakan problem teknis.

Sumber Persoalan

Beberapa sumber persoalan diidentifikas dari praktik pengalaman di lapangan. Pertama, Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). Dokumen ini disusun oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) yang secara berjenjang naik ke atas. Pada saatnya DP4 ini diserahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ke KPU RI untuk dimutakhirkan.

Secara normatif, DP4 setelah diturunkan ke bawah akan menjadi bahan Daftar Pemilih Sementara (DPS). Faktanya dari DP4 ini sudah ditemukan potensi persoalan yang cukup rumit. Dugaannya, DP4 ini disusun hanya menambah daftar warga yang sudah punya hak pilih. Sedangkan orang-orang yang sudah tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai pemilih tidak “dibersihkan” secara signifikan dalam update data kependudukan.

Ironisnya, pemilih yang sudah TMS itu sebenarnya sudah dibersihkan oleh KPU pada penyusunan DPT sebelumnya. Namun dalam penyusunan DP4 oleh Disdukcapil untuk pemilu berikutnya muncul kembali. Banyak kasus yang bisa ditunjuk untuk membuktikan dugaan ini. Seringkali saat tahapan mutarlih, penyelenggara menemukan data pemilih dari DP4 yang sudah meninggal, bahkan sebelum dua pemilu sebelumnya. Pemilih TMS itu sebenarnya sudah dihilangkan tapi kembali muncul pada DP4 pemilu berikutnya.

Kita tidak tahu pasti bagaimana mekanisme update data kependudukan yang merupakan elemen utama kerja administrative untuk menghasilkan DP4. Namun, setidaknya kita bisa meyakini persoalan tetap dalam penyusunan DPT juga disumbang dari problem yang terjadi dalam penyusunan DP4.

Buktinya nyata adanya persoalan DP4 juga terdeteksi saat perencanaan penyusunan anggaran untuk Pilkada 2020. Disdukcapil Kabupaten Purworejo menyajikan DP4 kepada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) sebanyak 622 ribu lebih.

Saat itu saya cukup kaget mengetahui data itu. Bagaimana tidak? Jumlah pemilih pada Pemilu 2019 tercatat 614.611. Tentu sangat tidak logis. Dalam waktu lima bulan setelah pemilu 17 April 2020, peningkatan jumlah pemilih sampai bulan September (saat perencanaan anggaran Pilkada 2020), terjadi penambahan jumlah pemilih sebanyak 8.000 orang. Jika dihitung, maka dalam setiap bulannya rata-rata terjadi penambahan jumlah pemilih sebanyak 1.600 orang. Jika dibagi rata-rata, di setiap kecamatan terjadi penambahan pemilih 100 orang dan di setiap desa rata-rata 17 orang. Penambahan itu masing-masing setiap bulan.

Katakan pertambahan potensi penduduk pemilih itu benar. Namun, secara akumulatif sebenarnya tetap memunculkan kecurigaan. Bisa jadi nama-nama pemilih TMS yang sudah dicoret dari proses mutarlih DPT Pemilu 2019 kembali muncul pada DP4 untuk Pilkada 2020. Sebab DP4 yang disusun tersebut tidak mensinkronkan terlebih dahulu DPT terakhir yang ditambahkan data potensi pemilih baru.

Maka, untuk mewujudkan agar DPT tidak menjadi daftar persoalan tetap,  proses penyisiran data pemilih “sampah” sudah harus dilakukan dari DP4. Tidak langsung dijadikan sebagai bahan DPS yang kemudian diturunkan ke bawah untuk dimutakhirkan. Namun DP4 terlebih dahulu harus dilakukan sinkronisasi dengan DPT pemilu terakhir.

Proses itu tentu tidak hanya mengandalkan kerja dari penyelenggara pemilu saja. Sinergi bersama dengan pemerintah daerah, dalam hal ini Disdukcapil dengan penyelenggara pemilu menjadi niscaya. Sinkronisasi bukan sekedar formalitas. Tapi benar-benar menjadi ruang filter awal  dalam pembersihan data-data pemilih TMS.

Hasil dari sinkronisasi itu baru disahkan sebagai bahan DPS. Selanjutnya dimutakhirkan oleh Pantia Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). Proses ini juga harus dikawal. Bukan hanya mengandalkan pengawas desa/kelurahan saja. Saya berpendapat, good will dan political will dari pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk menghasilkan data yang akurat. Jajaran aparatur di tingkat bawah secara berjenjang perlu digerakkan untuk membantu penyelenggara. Pemerintah kecamatan, pemerintah desa, hingga Ketua RT harus dilibatkan dengan mekanisme kontrol kerja yang ketat.

Kedua, alat bantu aplikasi teknologi informasi Sistem Data Pemilih (Sidalih) seringkali menjadi akar masalah. Fakta itu sebagaimana diakui oleh Mas Rahman. Ketentuan normatif di PKPU mengharuskan agar pleno yang mengesahkan daftar pemilih harus merupakan data yang sudah diinput ke Sidalih.

Nahasnya, Sidalih, barangkali karena keterbatasan server, sering mengalami kemacetan. Operator sering mengalami kendala untuk men-update data hasil pemutkahiran. Dicontohkan pada saat penetapan DPT Pemilu 2019 lalu, pleno harus ditunda akibat data pemilih belum bisa diinput ke Sidalih. Maka penyempurnaan sistem aplikasi data pemilih ini menjadi niscaya. KPU perlu membangun sistem teknologi pengelolaan data pemilih yang kompatibel mengelola data pemilih di seluruh Indonesia.

Ketiga, problem abadi penyusunan data pemilih sedikit banyak juga disumbang dari abainya stakeholders terkait terhadap tahapan ini. Akibatnya, pengawasan dan pengawalan tahapan ini tidak  secara ketat. Meski tahapan ini berlangsung paling lama, tapi partai politik maupun tim sukses pasangan calon kurang begitu tertarik untuk mengawal tahapan ini. Pun juga dengan NGO pemantau pemilu. Apalagi masyarakat.

Isu data pemilih ini kalah “seksi” dan populer jika dibandingkan dengan tahapan kampanye atau pemungutan dan penghitungan suara. Padahal KPU membuka ruang yang seluas-luasnya kepada semua pihak untuk terlibat mengawal tahapan ini. Partai politik selalu diberikan salinan DPT dengan harapan agar dicermati. DPS juga ditempel di tempat-tempat strategis untuk mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat.

Namun, keterlibatan partai politik itu cenderung bersifat formil. Mereka hanya hadir menyaksikan pleno-pleno. Sedangkan salinan DPT yang diberikan nyaris tidak pernah dicermati. Pengumuman DPS di desa-desa juga tak mendapat masukan balik dari masyarakat. Praktis dialektika tahapan ini hanya terjadi antar penyelenggara: jajaran KPU dan Bawaslu. Ironisnya, proses dialektika pengawasan itu acapkali dibaca publik sebagai konflik.

Partai politik dan tim sukses baru mulai sadar pentingnya membedah DPT setelah merasa dirugikan dalam penghitungan suara. Biasanya terjadi pada tahapan rekapitulasi atau saat terjadinya gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK).

Meningkatkan kesadaran bahwa tahapan penyusunan data pemilih sangat penting, menjadi salah satu solusi atas ikhtiar mewujudkan data pemilih yang akurat. Semua pihak, terutama stakeholders terkait harus mulai menyadari urgensi tahapan ini, sehingga harus mengawalnya sejak tahapan dimulai.

Keempat, profesionalitas penyelenggara pemilu. Diakui atau tidak, profesionalitas penyelenggara pemilu juga memberikan sumbangsih terhadap persoalan abadi penyusunan DPT. Bukan hanya di jajaran KPU, tapi juga di jajaran Bawaslu. Meski tidak semuanya, namun masih juga ditemukan kegiatan pencocokan dan penelitian (Coklit) oleh Pantarlih tidak dilakukan dengan mendatangi satu persatu rumah pemilih. Istilahnya Coklit hanya dilakukan di belakang meja. Kehadiran ke rumah pemilih sekedar menempel stiker tanda sudah di Coklit.

Ketidaktahuan atau bahkan mungkin kemalasan aparatur pengawas di tingkat desa/kelurahan semakin memperparah. Mestinya, proses yang melanggar secara administratif tersebut menjadi temuan pengawas. Alih-alih memberikan teguran, laporan pelaksanaan tugas mengawasi dan mengaudit Coklit itu dilakukan dengan menyajikan data hanya dengan meng-copy paste data dari Pantarlih atau mungkin PPS. Isi laporannya selalu dituliskan nihil pelanggaran.

Persoalan nyata itu perlu diselesaikan dengan peningkatan profesionalitas penyelenggara. Langkah konkritnya dengan menyegarkan petugas Pantarlih. Kebijakan yang membatasi maksimal dua kali dalam perekrutan Pantarlih menjadi angin segar untuk meningkatkan profesionalitas penyelenggara. Dengan demikian, orang-orang yang tidak punya komitmen untuk mewujudkan data pemilih akurat sudah saatnya diistirahatkan. KPU perlu memberikan ruang bagi generasi millennial yang memiliki komitmen dan integritas untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, dimulai dengan menjadi Pantarlih.

Selain solusi-solusi yang sudah diuraikan tersebut, agaknya penting untuk mempertimbangkan terobosan membangun kerjasama dengan jajaran aparatur kepolisian dan TNI. Jaringan Babinkamtibmas dan Babinsa di setiap desa/kelurahan bisa didorong untuk terlibat juga dalam mengawal proses pemutakhiran data pemilih. Terwujudnya data pemilih yang akurat adalah bagian dari proses menjaga keamanan dan ketertiban yang sekaligus juga berkonstribusi dalam menjaga kedaulatan negara.

Sinergi antara penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), pemerintah daerah hingga ke level terbawah di tingkat RT, kepolisian dan TNI memberikan harapan besar. Ada opportunity dari strategi ini untuk mewujudkan data pemilih yang benar-benar akurat. DPT benar-benar menjadi Daftar Pemilih Tetap dan bukan daftar persoalan tetap. DPT mampu menjadi instrumen hukum untuk melindungi hak asasi manusia warga negara dalam memilih. Dengan begitu proses demokrasi electoral yang dihasilkan benar-benar berkualitas dan berintegritas sebagai implementasi nyata dari kedaulatan rakyat. Semoga.

Tag
Kolom