Jerat Hukum Politisasi Bansos Covid
|
oleh: Nur Kholiq (Ketua Bawaslu Purworejo)
KECEMASAN dan kewaswasan masih “menghantui”. Data positif covid-19 yang dilansir gugus tugas terus meningkat. Satu setengah bulan lebih social/ physical distancing diterapkan. Tiba-tiba masyarakat terperanjat. Di Klaten beredar pembagian hand sanitizer yang berlabel stiker Bupati Klaten Sri Mulyani.
Gegernya semakin tak terkendali. Begitu stiker wajah ayu Bupati Klaten dibuka, ternyata hand sanitizer itu merupakan bantuan dari Kementerian Sosial (Kemensos) Republik Indonesia. Tak butuh waktu lama, peristiwa itu langsung viral di jagat media sosial. Hujatan terhadap orang nomor satu di Klaten itu tak terelakkan. Tagar #BupatiKlatenMemalukan sempat memuncaki trending topic di twitter.
Peristiwa itu dirasakan publik sebagai ironi di tengah situasi keprihatinan akibat pandemi. Munculah tudingan politisasi bantuan sosial covid-19. Peristiwa serupa terjadi di Purbalingga dan Kota Semarang. Bansos covid-19 “dimerki” wajah kepala daerah yang diperkirakan akan kembali mengikuti kontestasi Pilkada 2020.
Ironi di tengah pandemi itu memantik inspirasi tim kreatif JALU Bawaslu Purworejo. Siaran langsung via platform Youtube Edisi 1 Mei 2020 mengangkat tema: Waspadai Politisasi Bantuan Sosial Covid-19.
Sama dengan edisi-edisi sebelumnya, webkusi itu digelar di Ruang Sidang Nurhadi. Dua anggota Bawaslu dihadirkan menjadi narasumber. Ali Yafie, Kordiv Penyelesaian Sengketa dan Rinto Hariyadi, Kordiv Hukum Humas dan Hubungan Antar Lembaga. Amri Hidayat, staf divisi penyelesaian sengketa ditugaskan sebagai moderator.
Sepanjang 60 menit webkusi, saya mencatat beberapa poin penting atas peristiwa di Klaten, Semarang, dan Purbalingga. Kedua narasumber tersebut mengingatkan para pihak di Kabupaten Purworejo agar menahan diri supaya tidak mempolitisasi bantuan covid-19. Bansos tersebut semestinya murni untuk kepentingan kemanusian. Tidak sepantasnya pandemi covid dikapitalisasi menjadi panggung politik untuk kepentingan kontestasi Pilkada 2020.
Partai politik maupun bakal calon yang akan mengikuti kontestasi Pilkada 2020 berpotensi melakukan tindakan yang tidak etis tersebut. Jika melihat peristiwa yang terjadi di Klaten, politisisasi bansos itu bukan sekedar isapan jempol. Ironisnya, bansos yang ditumpangi aroma politik itu bersumber dari anggaran negara. Motifnya untuk meraih simpati publik dengan harapan meningkatkan elektabilitas.
Dalam situasi seperti sekarang ini, pemetaan terhadap kerawanan politisasi bansos memang potensinya paling besar dilakukan oleh petahana. Akses sumber daya yang lebih besar terhadap APBD dan peluang yang terbuka bisa mengarah pada tindakan a buse of power.
Bukan hanya itu, relasi kuasa petahana juga berpotensi memanfaatkan jaringan birokrasi hingga tingkat pemerintahan desa dalam mempolitisasi bansos covid-19. Maka muncul kerawanan baru terhadap netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN).
Para ASN yang kepala daerahnya berpotensi mengikuti kontestasi Pilkada 2020 perlu mengindahkan beberapa jerat hukum. Jangan sampai terlibat dalam tindakan-tindakan yang bisa dikualifikasikan sebagai politisasi bansos. Dampaknya, bukan sekedar pelanggaran etik, tapi dalam tahapan-tahapan tertentu, bahkan bisa mengarah pada pelanggaran pidana.
Aturan-aturan etik netralitas ASN itu tertegaskan dalam Undang-undang Nomor tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga menghukumi wajib áin bagi ASN untuk menjaga sikap netralnya. Demikian halnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Pada konteks pelanggaran etik yang berkaitan dengan tahapan pemilu, Bawaslu memiliki yuridiksi hukum untuk memprosesnya sebagai pelanggaran perundang-undangan lainnya. Prosesnya dikeluarkan rekomendasi kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN). Bawaslu Purworejo telah mengeluarkan tiga rekomendasi pelanggaran netralitas ASN kepada KASN. Ketiga rekomendasi tersebut sudah ditindaklanjuti dalam wujud penjatuhan sanksi etik.
Bagaimana norma larangan politisasi bansos? Pengaturannya bisa dibagi atau dibedakan dalam dua situasi dan kondisi. Pertama, pada situasi penundaan tahapan Pilkada, di mana belum ada pasangan calon yang ditetapkan KPU, maka politisasi bansos covid 19 bisa dijerat dengan Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 76 ayat (1): Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilarang: a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; d. menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan/atau merugikan daerah yang dipimpin.
Akibat hukum atas pelanggaran pasal tersebut, pasal 78 ayat (2) menegaskan: Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: e. melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 ayat (1) kecuali huruf c, huruf I, dan huruf j. Pemberhentian ini secara teknis diatur dalam pasal 80 ayat (1), mekanismenya dimulai dari DPRD yang kemudian bergulir ke Mahkamah Agung dan akhirnya ke Presiden.
Kedua, pada situasi tahapan Pilkada 2020 dijalankan kembali dan KPU telah menetapkan pasangan calon resmi, politisasi bansos Pilkada bisa dijerat dengan lima pasal dari Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perppu Nomor 2 tahun 2020 tentang Pilkada.
Pasal 71 ayat (1): Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon; Ayat (3): Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggap penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan calon terpilih. Pelanggaran atas larangan pada pasal ini, sesuai dengan ketentuan pasal 188 diancam dengan pidana minimal 1 (satu) bulan dan maksimal 6 (enam) bulan, denda paling sedikit Rp 600 ribu dan paling banyak Rp 6 juta.
Selanjutnya, pasal 73 ayat (1) menegaskan: calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengarui penyelenggara dan/atau pemilih.
Melihat ketentuan-ketentuan pasal yang diuraikan tersebut di atas, maka meskipun tahapan Pilkada sementara ditunda, tidak lantas terjadi kondisi uncompelitely norm (ketidaklengkapan norma) atau recht vakum (kekosongan hukum). Undang-undang Pilkada memang belum bisa menjerat politisasi bansos covid. Namun Undang-undang tentang pemerintah daerah bisa saja diterapkan untuk menjeratnya.
Di luar ketentuan hukum positif tersebut, politisasi bansos covid sebenarnya bertentangan juga dengan nilai-nilai moralitas-keadilan masyarakat. Nilai asasi yang justru menjadi sumber dari hukum positif. Selain itu, bagi petahana, politisasi bansos sesungguhnya juga melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dengan demikian, maka semestinya semua pihak agar tidak menjadikan pandemi covid sebagai panggung politik. Apalagi memanfaatkan bansos covid yang bersumber dari uang negara untuk membangun citra dan meningkatkan elektabilitas. Mari bersama-sama mengawasinya.