Lompat ke isi utama

Berita

Kenapa Pemilu Mesti Disosialisasikan?

Oleh: Nur Kholiq (Ketua Bawaslu Purworejo)

ADA nada penyesalan. Begitu yang saya tangkap dari pembincangan guyon di grup WhatsApp Bawaslu – KPU. Webkusi JALU edisi Kamis, 23 April 2020 diagendakan menghadirkan narasumber: anggota Bawaslu Purworejo Anik Ratnawati yang sparing partner dengan anggota KPU Purworejo Akmaliyah. Moderator yang didaulat juga perempuan: Desitasari, Staf Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu.

Formasi itu, kata Anik di grup, mestinya disajikan tepat pada momentum perayaan Hari Kartini, dua hari sebelumnya. Performance perempuan-perempuan penyelenggara pemilu pada momentum Hari Kartini.  “Ah, telat mbak. Momentum itu tak sengaja “kubajak” bersama Pak Dul (Ketua KPU Purworejo),” kataku mbatin.

Tombo gelo, Anik pun mengajak Akmal tampil mengenakan kebaya. Ajakan disampaikan sehari sebelum siaran langsung webkusi itu digelar. “Aduh mbak, WFH, badan berkembang terus kesamping. Sudah tidak ada kebaya yang muat,” ujar Akmal menolak halus sambil terkekeh dalam pembincangan di grup WhatsApp.

Gagal sudah tampil webkusi dengan semangat Kartini. Kendati sekedar mengenakan kebaya. Namun, tidak dengan semangat mengedukasi rakyat sang pemilik daulat. Hari itu perempuan-perempuan penyelenggara pemilu membincangkan ihwal sosialisasi pemilu. Saya mengamati viewer yang manthengin siaran langsung edisi ini jauh lebih banyak dibandingkan hari-hari sebelumnya. Saya tentu tidak perlu menjelaskan kenapa? He..he..

Akmal mendapat giliran pertama untuk menyampaikan paparannya. Dijelaskan, salah satu tugas penting bagi KPU sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah melakukan sosialisasi. Bahkan untuk memastikan tugas sosialisasi ini bisa dijalankan dengan baik, dibentuklah divisi yang secara khusus mengelola kegiatan sosialisasi. Yakni Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan Sumber Daya Manusia (Sosdiklih Parmas & SDM).

Infografis Jagongan Pemilu edisi Kamis 23 April 2020.

Dalam pelaksanaannya, lanjut Akmal, banyak program sosialisasi yang didesain oleh KPU. Kalau diamati, program tersebut mengalami perkembangan dari masa ke masa. “Misalnya dulu sosialisasi pemilu hanya dilakukan melalui dialog tatap muka dan penyebaran spanduk serta leaflet,” katanya.

Dalam perkembangannya, kegiatan sosialisasi mulai didesain melalui program-program yang lebih kreatif. Misalnya melalui program Relawan Demokrasi (Relasi). “Mereka ini direkrut menjadi agen sosialisasi KPU untuk menyampaikan informasi kepemiluan kepada masyarakat,” katanya.

Memasuki revolusi teknologi informasi 4.0, penyelenggaraan sosialisasi pemilu juga mengadaptasi. Sosialisasi pemilu dilakukan dengan instrumen konten-konten kreatif. Misalnya video, desain meme, poster yang disebarluaskan melalui platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, Youtube, dan Twitter. “Tapi cara-cara lama tetap dirawat. Seperti sosialisasi lewat media mainstream, website, termasuk juga dialog tatap muka,” katanya.

Akmal menyebutkan, KPU Purworejo sudah mendesain program-program sosialisasi dengan basis kelompok masyarakat. Misalnya basis offroader, basis keluarga, basis pemuda, dan basis-basis lainnya. Serangkaian kegiatan sosialisasi itu membuat partisipasi pemilih pada pemilu 2019 di Purworejo meningkat 9 persen dibandingkan pemilu 2014. Pemilu 2019 kemarin partisipasi pemilih mencapai 77,5 persen. Meski meningkat, tapi capaiannya belum sesuai target nasional sebesar 80 persen.

Sosialisasi sendiri dimaknai sebagai kegiatan penyebarluasan informasi berkaitan dengan tahapan pemilu. Tujuannya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat dan akhirnya berpartisipasi dalam menggunakan hak pilihnya.

Anik Ratnawati menyampaikan kritiknya. Sosialisasi yang dilaksanakan KPU selama ini indikator keberhasilannya hanya dilihat ddengan pendekatan kuantitatif saja. “Dari dulu alat ukurnya itu tingkat kehadiran pemilih di TPS. Sementara dari sisi kualitif masih jarang sekali disentuh,” katanya.

Kritikan tersebut dibuktikan pada saat Bawaslu RI menyusun indeks kerawanan pemilu (IKP) untuk kepentingan pengawasan Pilkada 2020. Kabupaten Purworejo dikategorikan memiliki tingkat kerawanan nomor dua se provinsi Jawa Tengah. “Titik lemahnya kita adalah pada rendahnya partisipasi masyarakat,” katanya.

Lho…lho..bukannya disampaikan KPU tadi mencapai 77,5 persen? Nah disinilah kritik disampaikan. Secara kuantitatif, kehadiran pemilih mencapai 77,5 persen. Tapi secara kualitatif angkanya jeblok. Kenapa? Karena dari total jumlah pemilih yang menggunakan haknya, surat suara yang tidak sah pada pemilu 2019 lalu jumlahnya sangat besar. Apalagi untuk pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Data itu, kata Anik, dianalisa oleh Bawaslu RI sebagai titik kerawanan yang bisa mengancam kualitas demokrasi. Maka, semestinya kegiatan sosialisasi mulai diarahkan bukan sekedar pendekatan kuantitatif sebagai indikator keberhasilan. Namun juga pendekatan kualitatif mulai menjadi perhatian.

“Maka penting bagaimana sosialisasi harus didesain agar pemilih tahun cara menggunakan haknya, pemilu tahu kampanye itu apa, pemilih juga tahu teknis-teknis tahapan lainnya. Bukan sekedar tahu datang ke TPS menggunakan haknya pada hari H pemungutan suara,” katanya.

Bawaslu berikhtiar mengisi kekosongan itu. Sosialisasi Bawaslu diarahkan bukan sekedar mengejar kehadiran pemilih di TPS. Namun mendorong keterlibatan masyarakat untuk mengerti, paham, dan bahkan mengawasi pelaksanaan setiap tahapan pemilu. Maka sosialisasi yang dilaksanakan Bawaslu diarahkan dalam kerangka mengembangkan program pengawasan partisipatif. Tugas konstitusional yang juga diamanatkan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum kepada Bawaslu.

Sosialisasi yang dilaksanakan Bawaslu sebenarnya tidak berbeda dengan yang dilaksanakan KPU. Hanya kontennya yang dimodifikasi. Beberapa contoh antara lain sosialisasi melalui gelar budaya, desa anti politik uang, dan desa pengawasan.

Pukul 10.00 WIB, webkusi itu berakhir. Tapi sepanjang mengikutinya, saya tidak menemukan pembahasan utama dari tema yang diangkat. “Kenapa pemilu mesti disosialisasikan?” Webkusi langsung melompat pada teknis sosialisasi, pendekatan, model, dan capaiannya. Sementara pertanyaan mendasar itu belum terjawab.

Memahami urgensi sosialisasi pemilu sebenarnya bisa dilakukan dengan mengetahui kedudukan pemilu dalam konstitusi kita. Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 menegaskan: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pada ayat (6) disebutkan, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya, pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ditegaskan: Pemilihan Umum merupakan sarana kedaulatan rakyat. Kerangka hukum itu menjelaskan bahwa pemilu sebagai demokrasi electoral merupakan sebuah sarana untuk meneguhkan kedaulatan rakyat. Pemilu adalah sarana rakyat dalam berpartisipasi menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kedudukan pemilu dalam konstitusi itu memberikan pemahaman bahwa rakyat sebenarnya merupakan pemilik hajat. Hajat dari proses pemilu yang merupakan sarana bagi rakyat untuk meneguhkan daulatnya. Maka seluruh rangkaian proses pemilu harus diketahui oleh rakyat. Tujuannnya untuk memastikan bahwa sarana itu diselenggarakan benar-benar untuk kepentingan rakyat. Di sinilah kita semua menjadi tahu kenapa pemilu mesti disosialisasikan. Bukan sekedar agar rakyat tahu, tapi supaya rakyat bisa memastikan bahwa penyelenggaraan sarana kedaualatan itu terjamin kualitasnya.     

Tag
Kolom