Menghitung Risiko
|
Oleh: Nur Kholiq (Ketua Bawaslu Purworejo)
CUKUP lama ditunggu. Presiden Jokowi akhirnya menggunakan kewenangan konstitusionalnya. Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Peppu) Nomor 2 tahun 2020. Sesuai kedudukan dan fungsinya, Perppu tersebut dikeluarkan atas situasi kegentingan yang memaksa. Menjadi payung hukum kejelasan nasib Pilkada 2020.
Seperti sudah kita ketahui semua. Pandemi Covid 19 yang kurvanya terus meningkat mengakibatkan tahapan Pilkada dihentikan. Per 22 Maret 2020 lalu, KPU menunda empat tahapan Pilkada: pelantikan badan adhoc (PPS), verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih (Pantarlih), dan penyusunan data pemilih.
Setelah diundangkan tanggal 4 Mei 2020 lalu, diskusi Perppu secara daring di berbagai platform media sosial ramai dilakukan. Banyak pegiat pemilu yang menginisiasi diskusi dengan melibatkan penyelenggara pemilu (KPU-Bawaslu), akademisi, termasuk juga anggota DPR RI sebagai narasumbernya.
Beberapa yang menjadi topik pembahasan antara lain: dampak sosial, politik, ekonomi, dan budaya pasca keluarnya Perppu. Ada pula yang menyebut Perppu belum memberikan kepastian, implikasi hukum dan segudang analisis dari para “pendekar silat” pemerhati pemilu.
Tulisan ini tidak berpretensi mengulang perdebatan atas topik-topik tersebut. Apalagi mengoreksi. Tulisan ini mencoba menghitung atau setidak-tidaknya memetakan risiko pelaksanaan pilkada serentak lanjutan, dikaitkan dengan perkembangan situasi di tingkat lokal Kabupaten Purworejo.
Salah satu pengaturan paling krusial dari Perppu tersebut adalah dimasukkannya ketentuan bencana non alam (menunjuk pandemi covid 19) sebagai alasan hukum penundaan Pilkada, vide pasal 201A ayat (1). Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tidak menyebut bencana non alam. Tapi hanya bencana alam atau kerusuhan yang mengakibatkan terganggunya tahapan pilkada. Maka Perppu tersebut menjadi payung hukum atas penundaan tahapan pilkada serentak akibat pandemi covid 19.
Selanjutnya, padal pasal 201A ayat (2) menegaskan, pemungutan suara serentak yang ditunda akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Keputusan itu sesuai dengan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar antara Komisi II DPR RI, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP beberapa waktu sebelumnya.
Meskipun eksplisit menyebutkan pemungutan suara serentak di bulan Desember 2020, namun Perppu masih memberikan ruang penundaan kembali apabila bencana non alam belum berakhir. Ketentuan pada pasal 201A ayat (3) inilah yang banyak dikritik belum memberikan kepastian hukum.
Keputusan tepat dilakukan KPU RI yang terlebih dahulu menanyakan status darurat pandemi covid 19 kepada gugus tugas. Kepastian ini penting sebelum dilakukan perubahan perangkat hukum PKPU yang mengatur tahapan program dan jadwal. Sebab, jika pilkada digelar bulan Desember 2020, maka awal Juni ini tahapan sudah harus dimulai kembali.
Kurva Covid Meningkat
Bagaimana dengan kesiapannya di Purworejo? Kalkulasi risiko harus dihitung secara matang. Perkembangan situasi pandemi covid 19 di wilayah Jawa Tengah selatan ini menjadi variabel pokok untuk memutuskan tahapan pilkada memungkinkan dilanjutkan atau tidak.
Akhir bulan Mei ini sebenarnya menjadi penentu. Jika pandemi benar-benar dinyatakan berakhir, maka tahapan pilkada baru layak untuk dilanjutkan. Sebaliknya, jika bencana non alam ini faktanya belum berakhir, maka memaksakan untuk melanjutkan tahapan merupakan kebijakan yang terlalu besar risikonya untuk keselamatan.
Data kasus covid 19 dari gugus tugas yang berpusat di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Purworejo bisa menjadi gambaran untuk memprediksi. Sampai tulisan ini dibuat (14/5/2020) kurvanya masih terus mengalami peningkatan kasus.
Total positif terkonfirmasi covid 19 sebanyak 52 orang. Rinciannya, 47 orang masih dirawat dan 5 orang sudah dinyatakan sembuh. Persentase kesembuhan itu masih sangat rendah, sekitar 9,6 persen. Masih jauh lebih rendah dari angka pertambahan kasus baru.
Yang lebih memprihatikan, jumlah di Kabupaten Purworejo itu tercatat paling tinggi kasus covid 19 di antara 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Tentu saja, di antara 21 kabupaten/kota yang menggelar Pilkada 2020, covid 19 di Kabupaten Purworejo juga menempati urutan pertama.
Kita semua berharap pandemi covid 19 ini segera berlalu. Tapi, bila mencermati data di atas, apakah mungkin akhir Mei ini pandemi sudah berlalu? Di sinilah urgensi mengkalkulasi risiko secara cermat. Sebab, keputusan melanjutkan tahapan atau meneruskan penundaan berimplikasi langsung terhadap keselamatan warga.
Sebenarnya, tidak terlalu sulit untuk mengalkulasi risiko tersebut. Pertama, jika pemungutan suara serentak dilaksanakan bulan Desember 2020,maka tahapan yang harus mulai dijalankan kembali oleh KPU Purworejo adalah pelantikan badan adhoc Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang tersebar di 494 desa/kelurahan. Jumlah PPS di setiap desa/kelurahan sebanyak 3 orang, sehingga total yang harus dilantik mencapai 1.482 orang. Pelantikan dilakukan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di 16 kecamatan.
Prosesi pelantikan ini tidak boleh dihilangkan karena akan melanggar ketentuan administratif tahapan. Sementara, proses pelantikan jika dilakukan secara normal akan melanggar protokol kesehatan pencegahan covid 19. Sebab, prosesi pelantikan akan memicu berkumpulnya banyak orang. Belum lagi rumitnya mengatur jarak yang harus dipatuhi dari ketentuan social/ physical distancing. Jika pandemi covid 19 belum benar-benar berakhir, bisa jadi pemaksaan tahapan ini justru akan memicu ledakan kasus baru.
Kedua, badan adhoc PPS yang sudah dilantik itu akan segera bekerja melakukan tahapan verifikasi faktual (Verfak) dukungan calon perseorangan. Perppu Nomor 2 tahun 2020 tidak mengubah tata cara dan prosedur verfak. Dengan demikian, pengaturan dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tetap berlaku. Verfak dilakukan secara sensus dengan mendatangi satu persatu pendukung bakal calon perseorangan.
Jumlahnya tidak sedikit. Hasil verifikasi administrasi (Vermin) yang dilakukan KPU Purworejo, jumlah pendukung yang harus dilakukan verfak sebanyak 41.888, tersebar di 16 kecamatan. Tahapan ini secara langsung akan dikerjakan oleh 1.482 PPS. Prosesnya diawasi oleh Pengawas Kelurahan/Desa (PKD) sebanyak 494 orang. Belum termasuk anggota PPK beserta sekretariatnya dan Panwaslu Kecamatan beserta jajaran sekretariat yang secara tidak langsung tentu terlibat pada proses administratif rekapitulasi hasil verifikasi.
Ketiga, risiko yang juga harus dikalkulasi adalah pelaksanaan tahapan penyusunan daftar pemilih. KPU Purworejo, akan membentuk Pantarlih. Jumlahnya sesuai dengan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebanyak 1.242.
Seperti dalam tahapan Verfak dukungan calon perseorangan, Pantarlih akan melakukan pencocokan dan penelitian (Coklit) calon pemilih dengan mendatangi satu persatu rumah warga. Prosesnya juga melibatkan PPS yang diawasi oleh PKD. Pada proses rekapitulasi hasil Coklit dilakukan PPK yang juga diawasi oleh Panwaslu Kecamatan dengan dibantu jajaran sekretariat. Maka tergambar bagaimana risiko dari pelaksanaan tahapan ini, karena akan menjadi sarana pertemuan banyak orang. Lagi-lagi melanggar protokol kesehatan pencegahan covid 19.
Keempat, risiko anggaran. Pelaksanaan pilkada serentak lanjutan di tengah situasi pandemi covid 19 belum berakhir, berimplikasi terhadap membengkaknya kebutuhan anggaran. Di setiap tahapan, diperlukan penambahan anggaran untuk menyediakan sarana protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran covid 19. Kebutuhan anggaran itu tentu belum disiapkan pada saat Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) ditandatangani.
Secara sederhana, kebutuhan anggaran itu bisa dihitung dari variabel belanja kebutuhan sarana protokol kesehatan. Misalnya penyedian masker untuk penyelenggara. Total keseluruhan penyelenggara di jajaran KPU maupun Bawaslu dari tingkat kecamatan sampai di tingkat TPS setidaknya mencapai 4.662 orang. Jika satu masker harganya Rp 5.000, maka penyedian sarana ini saja dibutuhkan anggaran sebesar Rp 23.310.000. Itu baru satu masker untuk setiap penyelenggara.
Selanjutnya untuk kebutuhan hand sanitizer. Untuk volume 60 mililiter, harganya rata-rata Rp 20.000. Maka total kebutuhan anggarannya sebesar Rp 93.240.000. Anggaran itu baru mampu menyediakan satu botol untuk setiap penyelenggara yang diasumsikan sudah habis digunakan dalam waktu sebulan. Belum lagi penyediaan sarana protokol kesehatan di masing-masing kantor penyelenggara.
Sederetan risiko yang sudah bisa diprediksi itu harus menjadi pertimbangan utama, sebelum memutuskan kelanjutan pilkada Purworejo. KPU Purworejo sebagai penyelenggara teknis, tentu dengan tetap menjaga independensinya, harus berkoordinasi dengan Pemkab Purworejo, terutama gugus tugas penanggulangan covid 19 sebelum mengambil keputusan.
Jika memang situasi belum memungkinkan, maka tidak perlu memaksakan pilkada serentak lanjutan. Karena risiko keselamatannya terlalu besar. Meskipun, barangkali nantinya secara nasional diputuskan pemungutan suara dilaksanakan Desember 2020, keputusan penundaan karena pertimbangan situasi lokal sebenarnya tetap dimungkinkan, sepanjang alasan hukumnya kuat.
Peluang mengusulkan penundaan bisa kita temukan jika mencermati ketentuan pasal 120 ayat (1) Perppu Nomor 2 tahun 2020. Pada pokoknya, apabila terjadi kondisi, termasuk bencana non alam pandemi covid 19, yang mengakibatnya terganggungnya pelaksanaan sebagian atau seluruh tahapan di sebagian atau seluruh daerah pemilihan, dilakukan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan.
Mekanisme penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak serta pemilihan serentak lanjutan, sesuai pasal 122A ayat (2) dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, pemerintah dan DPR.
Berbagai risko yang menghadang, serta regulasi memungkinkan dilakukan penundaan, rasanya tidak tepat situasi seperti sekarang ini disikapi secara psimistis. Kesuksesan Korea Selatan menggelar pemilu di tengah pandemi covid 19 bisa menjadi pelajaran. Sepanjang protokol kesehatan dipatuhi dan dilaksanakan secara ketat, pesta demokrasi untuk meneguhkan daulat rakyat itu tetap memungkinkan untuk dihelat. Tentu dengan syarat harus dilengkapi dengan kajian situasi yang komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.