Meruntuhkan Tradisi Politik Uang
|
“Politik uang menjadi musuh kita bersama karena praktik ini akan menciptakan potensi korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan.”
Pesan Ketua Bawaslu Republik Indonesia, Abhan Misbah tersebut menjadi tantangan seluruh masyarakat dalam mewujudkan pemilihan umum (pemilu) 2019 yang bermartabat, yakni bebas dari praktik politik uang. Namun, hal itu seolah sulit untuk diwujudkan seiring dengan berkembangnya sikap pragmatisme masyarakat dalam memberikan hak pilihnya.
Praktik politik uang nyaris selalu menjangkiti setiap pelaksanaan pemilu yang melibatkan masyarakat dan peserta pemilu. Bahkan, ada anggapan bahwa politik uang merupakan penyakit berbahaya yang sudah mendarah-daging di masyarakat dan sulit untuk disembuhkan.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, istilah politik uang sesungguhnya tidak hanya dibatasi pada pemberian uang dari peserta pemilu kepada peserta kampanye. Namun, suap politik ini juga dapat berbentuk pemberian barang yang diberikan secara langsung atau tidak langsung. Artinya, definisi politik uang cakupnya cukup luas. Hal ini bisa dilihat dalam larangan kampanye Pasal 280 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bahwa pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.
Pada praktiknya di lapangan, pemberian politik uang bentuknya bermacam-macam, mulai dari pemberian uang secara langsung kepada calon pemilih sampai dengan pemberian barang berupa mesin bajak sawah. Sasarannya pun tidak hanya orang perorang, tapi juga kelompok masyarakat. Pemberian peralatan olahraga, misalnya, dilakukan untuk menyasar kelompok masyarakat yang gemar berolahraga.
Praktik politik uang mulai menggejala seiring dengan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada para pemimpin yang banyak melakukan korupsi. Ironisnya, tindak kejahatan korupsi ini tak hanya dilakukan pejabat tingkat pusat, tapi juga tingkat daerah. Kejahatan korupsi ini tentu sangat merugikan uang negara, menghambat laju pembangunan dan melukai hati rakyat.
Dampaknya, masyarakat menilai bahwa keberadaan para pemimpin, siapapun orangnya, tidak memberikan dampak apapun terhadap kesejahteraannya. Akibat terparah yang timbul salah satunya yakni muncul apatisme masyarakat dalam prosesi pemilihan calon pemimpin dalam pemilu. Masyarakat tak lagi peduli terhadap para calon pemimpin. Mereka enggan menelisik lebih dalam tentang kualitas calon pemimpin yang akan dipilih. Inilah yang kemudian melahirkan 'kepentingan instan' dari masyarakat, yakni terjadinya transaksi jualbeli suara. Siapa yang berani membayar, dialah yang akan dipilih.
Fenomena tersebut seolah menjadi legitimasi bagi sebagian peserta pemilu untuk melakukan praktik politik uang yang masuk kategori tindak kejahatan pemilu. Sebagian peserta pemilu tak lagi mementingkan penyampaian visi, misi dan program kerjanya kepada calon pemilih. Kemampuan finansial dinilai lebih menentukan terhadap keberhasilan peserta pemilu dalam memenangkan kontestasi di lapangan.
Hal tersebut di atas terus berkembang dari masa ke masa hingga seolah menjadi sebuah aktivitas politik yang 'mentradisi' di negeri ini. Politik substansial perlahan berjalan menuju politik transaksional dengan menegasikan norma hukum yang berlaku. Hal ini mengakibatkan biaya politik yang harus dikeluarkan peserta pemilu sangat tinggi, mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Namun, apatisme itu bukan menjadi legitimasi untuk menegasikan makna pemilu sebagai instrument demokrasi yang dianut bangsa Indonesia. Semangat penyelenggaraan pemilu tahun 1955 yang diklaim sebagai pelaksanaan pemilu paling bersih dan demokratis, harus menjadi referensi penting dalam mewujudkan kedaulatan rakyat melalui pemilu menuju kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Meski waktu itu kondisi bangsa sedang tidak kondusif paska kemerdekaan, namun seluruh masyarakat dapat andil dalam pelaksanaan pemilu. Masyarakat dengan sukarela datang ke lokasi tempat pemungutan suara untuk memberikan hak pilihnya, tanpa paksaan apalagi suap. Keterlibatan masyarakat dalam pemilu diyakini sebagai perwujudan perjuangan bentuk lain dalam mengisi masa kemerdekaan.
Apapun alasannya, praktik politik uang merupakan gerbang potensi terjadinya korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Diperlukan komitmen bersama dari masyarakat, peserta pemilu dan penyelenggara pemilu untuk memerangi gerakan politik uang. Pelaksanaan Pemilu 2019 merupakan momentum bersama bagi semua pihak untuk berkontribusi positif terhadap terpilihnya pemimpin bangsa yang amanah, bersih dan jujur serta mementingkan kepentingan rakyat.
Pragmatisme politik masyarakat perlu direkonstruksi menjadi kesadaran politik kritis dengan mengedepankan pertimbangan akal sehat dan nilai moral. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, masyarakat mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan bangsa melalui calon pemimpin yang dipilihnya. Masyarakat harus memahami bahwa apa yang dilakukan pada tahapan pemilu akan memiliki dampak yang luas terhadap kelangsungan hajat hidup orang banyak dalam kurum waktu lima tahun kedepan.
Sementara itu, peserta pemilu juga perlu mawasdiri dan mulai melaksanakan kampanye santun dan cerdas sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak berbuat curang. Sikap politik ini akan menjadi cermin tingkat kedewasaan partai politik dalam bersaing pada ajang Pemilu 2019. Partai politik harus berani memainkan cara-cara yang santun dalam meyakinkan calon pemilih. Kegiatan kampanye harus dikembalikan pada tujuan awal, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 267 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bahwa kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab.
Pada tataran penegakkan hukum terhadap pelanggaran pidana pemilu juga perlu dioptimalkan. Sentra Penegakkan Hukum Terpadu yang terdiri atas tiga lembaga yakni Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksanaan harus memiliki perspektif progresif yang sama dalam melihat setiap dugaan tindak pelanggaran pidana pemilu, salah satunya praktik politik uang.
Ancaman pidana terhadap praktik politik uang sudah sangat jelas disebutkan dalam Pasal 523 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bahwa setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000.
Menurut pengamat politik dari Saiful Mujani Reseach and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan dalam diskusi publik yang diselenggarakan Para Syndicate di Jakarta sebagaimana dikutip media kompas.com belum lama ini menyebutkan bahwa sistem pemilihan umum tidak selalu menjadi penyebab timbulnya politik uang. Merebaknya praktik politik uang juga dipengaruhi oleh faktor lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran pidana pemilu tersebut.
Oleh karena itu, optimalisasi penegakkan hukum terhadap praktik politik uang menjadi sebuah keniscayaan yang harus ditempuh sebagai upaya meruntuhkan tradisi praktik politik uang dimasyarakat.