Demokrasi, Puasa, dan Ancaman Sisifus
|
DALAM sebuah mitologi Yunani Mite Sisifus adalah sebuah hikayat yang cukup mashur. Sisifus sendiri merupakan nama putra Raja Aeolus dari Thessaly yang sepanjang hayatnya melakukan pekerjaan konyol. Setiap hari ia mendorong batu dari bawah bukit hingga puncak demi menyaksikan batu itu menggelinding ke bawah. Setelah batu itu sampai bawah, ia dorong kembali keatas hingga sampai puncak. Dan begitulah seterusnya.
Marilah kita berkaca. Jangan-jangan Sisifus itu adalah kita yang belum lama ini sebulan menjalankan ibadah puasa dan dipuncaki dengan hari raya Idul Fitri. Bukankah Rasulullah SAW telah memberikan peringatan. “Banyak diantara umatku yang menjalankan puasa Ramadhan, namun yang ia dapatkan tidak lain hanyalah lapar dan dahaga,”
Bayangkan, setiap hari kita bangun lebih pagi dari biasanya. Makan sahur sambil terkantuk-kantuk. Usai imsak tidak makan tidak minum hingga satu waktu berbuka tiba. Siklus itu berulang hingga satu bulan lamanya. Jika ada motif lain selain Allah, tentu hanya lapar dan haus yang kita dapat. Kita berpuasa tanpa pahala.
Menariknya, hakekat puasa adalah dari Allah, oleh Allah dan untuk Allah. Ini logikanya sederhana: Allah SWT memerintahkan puasa (dari Allah), Allah sendiri berfirman bahwa puasa itu adalah milik Allah (untuk Allah dalam arti hak Allah atas hamba-Nya) dan kembali kepada Allah (yang berkuasa untuk membalasnya) pada satu sisi.
Pada sisi yang lain, prinsip puasa adalah dari manusia, oleh manusia dan akan kembali kepada manusia. Bukankah itu juga prinsip demokrasi. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Mungkin inilah korelasi antara puasa dengan demokrasi hingga para pendiri bangsa akhirnya menjatuhkan pilihan pada demokrasi. Dengan penuh semangat, Bung Karno berucap: “Indonesia adalah untuk bangsa Indonesia; Pemerintah Indonesia adalah untuk rakyat Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia, harus merupakan representasi dari rakyat Indonesia”.
Beruntung, tahun ini kita menjalani puasa Ramadan bersamaan dengan hari-hari yang istimewa bagi bangsa Indonesia. Yaitu pesta demokrasi yang hingga kini belum selesai tahapannya. Pemilihan umum untuk calon legislator kita dan Kepala Negara atau Pemerintahan, yang melibatkan seluruh komponen bangsa dan negara, baik dari panitia penyelenggaranya yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU); dari pengawasnya oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), rakyat yang memilih, pengurus partai politiknya, calon legislatornya dan juga calon Presiden dan Wakil Presidennya.
Yang harus kita ingat adalah kita bangsa yang berbudaya. Bangsa yang bermartabat sejak nenek moyang kita babat (membukanya), memperjuangkan dan mendirikan negeri ini. Mereka selalu dilandasi sikap santun, ramah, sabar, baik ketika memperjuangkan dan mendirikan negeri ini.
Mungkin kita perlu berilustrasi dan berimajinasi ketika para nenek moyang kita baru babat tanah di Nusantara ini, meramaikannya sehingga bisa berbentuk sebuah bangsa walaupun masih sederhana. Kemudian bagaimana para pejuang-pejuang kemerdekaan di bumi Nusantara ini melepaskan Kolonialisme para penjajah, dan bagaimana para pendahulu kita memakmurkan Nusantara ini. Pastinya dilandasi dengan sikap sabar dan kebesaran jiwa. Harapannya eksistensi Bangsa Indonesia masih bisa kita nikmati sampai sekarang.
Karena konteks inilah, Bawaslu dan jajarannya yang tersebar hingga tingkat desa terus berikhtiar menjaga marwah kontestasi demokrasi. Agar demokrasi betul-betul termanifestasikan sebagaimana mestinya. Bawaslu tidak bisa sendirian dan hanya mengantarkan selama tahapan pemilihan berjalan. Hasilnya, kami serahkan kepada rakyat. Karena sejatinya, pengawas sesungguhnya adalah rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Begitu prinsip demokrasi dipraktikkan dari rakyat tapi bukan dikembalikan kepada rakyat. Saya khawatir Sisifus yang dihukum oleh para dewa karena kenakalannya itu telah menjelma dalam diri kita, bangsa kita dan demokrasi kita. Hiruk pikuk demokrasi yang telah banyak mengorbankan waktu, kerukunan, persekawanan hingga ratusan nyawa akhir-akhir ini akan sia-sia serupa dengan orang puasa tapi tak mendapatkan balasan apa-apa, kecuali lapar dan dahaga.
Oleh: Ali Yafie, S.Sy
*Koordinator Divisi Penyelesaian SengketaBawaslu Kabupaten Purworejo