Lompat ke isi utama

Berita

Pahlawan Demokrasi 2019

Pemilu 2019 menjadi catatan sejarah tersendiri bagi demokrasi di negeri ini. Pertama kalinya, Indonesia menggelar pemilu secara langsung yang digelar secara serentak antara Pileg dan Pilpres. Pada perhelatan pesta demokrasi sebelumnya yaitu pemilu 2004, 2009, dan 2014, model penyelenggaraan pemilu dilakukan antara lain Pertama, didahului dengan pemilihan calon anggota legislatif, kemudian 3-4 bulan berikutnya baru dilaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Alhasil dengan adanya penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2019 ini, otomatis dihadapkan pada lima surat suara. Surat suara tersebut yakni presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten. Dengan demikian tentu bertambah pula beban dan permasalahan di lapangan yang lebih rumit serta memakan waktu yang tidak sedikit.

Di balik penyelenggaraan pemilu serentak 2019, ada sebuah cerita yang memprihatinkan. Ada jajaran penyelenggara pemilu yang mengalami sakit dan meninggal dunia. Hingga 30 April 2019, Bawaslu Kabupaten Purworejo mencatat sedikitnya ada 14 orang korban dari jajaran pengawas pemilu ad hoc.

Musibah yang dialami oleh pengawas pemilu tersebut antara lain dua orang meninggal, satu mengalami luka berat berupa keguguran, dan 11 orang lainnya mengalami luka sedang. Di antaranya ada yang mengalami kecelakaan hingga harus rawat jalan dan ada pula yang harus rawat inap. Beberapa pengawas lainnya di luar 14 orang korban di atas, juga mengalami sakit berupa luka ringan yang disebabkan oleh faktor kelelahan.

Proses perjalanan pemilu 2019 ini memang dirasa berat dan sangat melelahkan. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, sebagai pengawas pemilu dituntut untuk mampu bekerja secara professional dan cermat. Bukan hanya itu, pengawas pemilu juga bekerja secara ekstra demi terselenggara pemilu yang berintegritas.

Seluruh jajaran pengawas terlebih pengawas TPS telah melakukan tugas pengawasan dalam waktu yang cukup lama hingga bekerja sampai di luar jam kerja pada umumnya. Yakni bekerja sekitar 48 jam, ukuran normal orang bekerja adalah 8 jam atau ditambah 2 jam lemburnya. Sehingga PTPS telah bekerja di luar batas waktu normal yang secara fisik berlebihan.

Secara mental mereka juga mendapatkan tekanan. Faktor kelelahan dan waktu istirahat yang kurang inilah yang menjadi penyebab sebagaian besar dari musibah yang dialami pengawas pemilu ad hoc terutama di wilayah Kabupaten Purworejo.

Dari peristiwa tersebut sesungguhnya merupakan pembelajaran bersama bahwa pengalaman penggabungan dari pileg dan pilpres yang diselenggarakan secara serentak berpengaruh dan berdampak besar bagi kesehatan dan kestabilan tubuh petugas.

Menyikapi terhadap mereka yang terkena musibah, utamanya yang meninggal dunia, untuk mengenang jasa-jasa almarhum, Bawaslu Kabupaten Purworejo bersepakat untuk menjadikan nama almarhum Nur Hadi, PPKD yang meninggal dunia menjadi nama ruang sidang di kantor Bawaslu Purworejo. Para pengawas yang gugur dalam tugas  itu sekaligus layak disebut sebagai Pahlawan Demokrasi 2019.

Setelah pemilu usai, saatnya pemerintah bersama DPR, penyelenggara pemilu, dan lembaga lain yang terkait, untuk melakukan evaluasi penyelenggaraan Pemilu 2019. Mestinya untuk penyelenggaraan pemilu kedepannya harus ada perubahan yang lebih baik dan tidak memakan banyak korban. Evaluasi juga dapat menggunakan pemanfaatan teknologi dan/atau pemilu serentak terpisah antara pemilihan untuk pemerintah pusat dengan daerah, sehingga beban pekerjaan penyelenggara pemilu lebih ringan.

Oleh: Abdul Azis, S.Pd.
*Koordinator Divisi Organisasi dan SDM
Bawaslu Kabupaten Purworejo

Tag
Kolom