Lompat ke isi utama

Berita

PEMILU SERENTAK 2019 (Sebuah Catatan Pengawas)

USAI sudah. Hajat besar pelaksanaan demokrasi pemilihan andateat dan pemilihan presiden /wakil presiden pertama kalinya di Indonesia dan pertama kali pula di dunia dilakukan serentak. Walau meninggalkan begitu banyak catatan dan warna yang luar biasa, khususnya di Kabupaten Purworejo penyelenggara Pemilu telah sukses menggelarnya.

Ya, pemilu serentak 2019 menjadi peristiwa besar yang akan tercatat dalam sejarah demokrasi di negeri ini. Beberapa catatan di antaranya, pelaksanaan pemilu di Kabupaten Purworejo —terdiri dari 16 kecamatan 494 desa/kelurahan—ada total pemilih dalam DPT tercatat 614.611 pemilih serta 2.153 Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Ribuan orang terlibat sebagai penyelenggara.  

Ribuan orang terlibat sebagai penyelenggara. Di jajaran pengawas pemilu melibatkan 5 anggota Bawaslu bersama 18 staf andateat, 48 pengawas pemilu kecamatan dan 80 staf andateat, 494 Pengawas Pemilu Desa/Kelurahan, dan 3.032 Pengawas Tempat Pemungutan Suara.

Di jajaran penyelenggara teknis, 5 anggota Komisi Pemilihan Umum dibantu puluhan staf andateat. Di tingkat kecamatan ada 80 Panitia Pemilihan Kecamatan  (PPK) dan staff sekretariatnya, 48 Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan staf sekretariatnya serta 21.224 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara.

            Dari sisi andate, sebanyak 3.032 TPS membutuhkan bilik suara sebanyak 4 kali 3.032, yakni 12.128. Kotak suara yang dibutuhkan sebanyak 5 kali 3.032, ditambah 16 kotak rekap kecamatan sebanyak 15.176 kotak. Surat suara yang dibutuhkan sebanyak 5 kali jumlah DPT, ditambah 2 persen disetiap TPS. Masih ditambah lagi dengan ribuan formulir-formulir yang harus disediakan mulai KPPS sampai KPU , mulai C1 Plano sampai DB nya KPU.

Kebutuhan itu baru untuk tingkat Kabupaten Purworejo saja. Padahal pemilu ini serentak dilaksanakan di seluruh wilayah NKRI. Bisa dibayangkan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan pemilu sebagai implementasi dari kedaulatan rakyat.

            Peristiwa lain yang bisa dicatat adalah banyaknya penyelenggara pemilu, baik di jajaran pengawas maupun KPU yang gugur dalam menjalankan tugas. Mereka layak disebut pahlawan demokrasi. Mereka bekerja keras dari pagi sampai pagi lagi tanpa henti dengan tuntutan pekerjaan yang memang harus selesai pada hari yang sama bahkan, diperpanjang waktunya sampai dengan 12 jam.

            Sudah semenjak tanggal 16 April 2019 petugas KPPS harus menyiapkan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pengawas TPS juga harus memastikan apakah semua pemilih telah mendapatkan surat pemberitahuan memilih. Apakah TPS sudah dibuat sesuai prosedur dan tata cara yang benar sesuai aturan?. Sampai saat hari pemungutan suara KPPS dan PTPS harus sudah siap bertugas di TPS sebelum pukul 07.00 WIB.

            Pukul 13.00 WIB pemungutan suara harus diakhiri untuk kemudian ishoma sejenak dan dilanjutkan dengan penghitungan hasil pemungutan suara. Dalam proses inilah dibutuhkan konsentrasi dan tenaga ekstra karena harus membaca satu per satu semua jenis surat suara yang digunakan oleh pemilih dengan lantang dan jelas. Menuliskannya ke dalam C1 plano dengan harapan tanpa kesalahan kemudian menyalinnya ke dalam sertifikat C1 untuk sejumlah kebutuhan sesuai yang diatur dalam PKPU. Di mana Salinan sertifikat C1 juga harus diberikan kepada PTPS dan semua saksi pemegang andate yang hadir.

            Proses inilah yang kemudian bisa menghabiskan waktu sampai pagi hari berikutnya dan jelas akan sangat mengganggu kondisi fisik penyelenggara di tingkat TPS. Pengawas TPS juga harus segera memasukkan laporannya secara online yang langsung tersambung ke Bawaslu RI. Sulitnya signal dan keterbatasan handphone tentulah menjadi kendala utama. Selain kondisi yang sudah lelah karena telah melaksanakan pengawasan dari mulainya persiapan pemungutan suara sampai pada berakhirnya penghitungan suara dan mengantarkan kembali kotak suara yang berisi hasil pemungutan suara kepada PPS oleh KPPS.

            Kelelahan, dehidrasi, mag, bahkan kambuhnya sakit seseorang yang memang sudah menderita sakit sebelumnya juga banyak terjadi. Tidaklah heran kalau kemudian banyak korban berjatuhan. Tercatat ada 12 pengawas pemilu di Kabupaten Purworejo yang kemudian masuk Rumah Sakit dan 2 di antaranya meninggal dunia.

            Selanjutnya di tingkat kecamatan masih harus merekap hasil dari seluruh TPS per desa yang juga memakan waktu, tenaga dan biaya yang luar biasa. Di tahapan ini penyelenggara baik PPK, Panwascam, PPS, PPK/D berjibaku dengan data dan angka yang harus dimasukkan ke dalam formulir model DA, DAA1 dan DA1 dari sertifikat C1. Di sini pula terdeteksi adanya ribuan kesalahan tulis dalam sertifikat C1 yang kemudian harus membuka kotak yang sudah tersegel dan mencocokkan dengan sumber aslinya yaitu plano C1. Fatalnya adalah ketika harus menghitung ulang beberapa TPS yang terjadi karena adanya selisih pengguna hak pilih dan perolehan suara sah dan tidak sahnya.

            Dari 3.032 TPS di 16 kecamatan tersebar di Kabupaten Purworejo, tercatat ada 672 perbaikan  di rekap tingkat PPK. Perbaikan pada kesalahan penulisan dan 47 TPS yang harus melaksanakan penghitungan ulang. Ada 1 TPS di Kecamatan Ngombol yang harus melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) karena terdapat pemilih yang tidak punya hak pilih memilih di TPS tersebut.

Rekapitulasi penghitungan di tingkat kecamatan yang berlangsung selama seminggu tersebut ternyata masih menyisakan beberapa kesalahan. Setelah dituangkan dala Berita Acara DA dan lampirannya, terbukti setelah dilaksanakan pencermatan ulang oleh PPK dan Panwascam masih juga harus melaksanakan perbaikan di rapat pleno rekapitulasi hasil pemungutan suara di tingkat Kabupaten.

Rapat Pleno Rekapitulasi hasil pemungutan suara di tingkat kabupaten pun masih terdapat perbaikan. Karena ada kesalahan penulisan serta adanya beberapa Caleg yang TMS, namun masih mendapatkan suara dan terinput pada form DA.1.

Akhirnya, dari keseluruhan tahapan yang telah dilaksanakan tentunya banyak hal bisa dijadikan sebagai pembelajaran untuk bangsa ini kedepan. Para pengambil kebijakan, secara khusus penyusun undang-undang agar memikirkan kembali untuk mendesain ulang model teknis pelaksanaan pemilu. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan, terutama batas maksimal kemampuan kerja seorang manusia. Di sinilah diperlukan kearifan dan kebijaksanaan agar terwujud sistem pemilu yang kemanusiaan. (BP-01)

Oleh: Anik Ratnawati, S.Pd.
*Koordinator Divisi Pengawasan Humas dan Hubal Bawaslu Kabupaten Purworejo

Tag
Kolom